“Lihat nih aku dapat uang banyak!” kata Udin beberapa saat setelah turun
dari bus kota. Rupanya ia baru saja mengamen. Uang receh dan uang
kertas di dalam bekas bungkus permen di genggamannya terlihat penuh.
Wajah anak itu berbinar senang.
“Wah, pasti kamu nyanyinya bagus
banget sehingga penumpang kasih kamu uang banyak!” kata Genta, tukang
semir sepatu , teman Udin.
Mereka selalu berkumpul di
perempatan jalan dekat terminal untuk beristirahat. Genta sehari
harinya adalah penyemir sepatu di warung warung sekitar terminal.
Sedangkan Udin , Bambang dan Leman mengamen sendiri sendiri..
“Begitulah!”
kata Udin gembira sambil menghitung uangnya. Genta terlihat senang juga
melihat hasil yang didapat Udin, Ibu Udin saat ini sedang sakit, ia
perlu uang banyak untuk berobat karena itu sudah seminggu ini Udin mulai
ikut mengamen di dalam Bus.
“Padahal kamu ngamen
nggak pakai alat musik ya,Din?” cetus Leman heran, “Terus kamu nyanyi
Cuma pakai tepuk tepuk tangan saja ya?”
Leman sendiri
mengamen dengan menggunakan gitar kecil pemberian mendiang kakeknya.
Suara Leman bagus sekali dan ia sangat mahir memainkan gitar kecil itu.
Tetapi uang yang didapatnya tidak pernah sebanyak yang didapat Udin
setiap hari.
Mereka berempat adalah teman satu
sekolah dan rumah mereka berdekatan, ketika mereka tahu Ibu Udin sakit,
mereka menganjurkan Udin untuk ikut mengamen atau jadi penyemir sepatu
di terminal.Udin menerima ajakan teman temannya.
“Tuh Bambang datang,kok dia lesu amat…” tunjuk Genta pada temannya yang terlihat baru turun dari Bus.
“Lesu,Bang?”
“Yaah,
mungkin karena suaraku tidak bagus yaa jadi nggak banyak yang kasih
aku uang, lagian katanya Bang Poltak kondektur PPD ada pengamen yang
suaranya bindeng yang ngamen sebelum aku, penumpang semua kasihan sama
dia…”
Genta dan teman temannya berpandangan,”Pengamen Bindeng??”
Bambang mengangguk, “Sebetulnya sih bukan ngamen, suaranya aja hampir nggak ada katanya…jadi orang kasihan sama dia…”
“Yang
mana ya orangnya? Aku kok nggak pernah lihat? Kalian pernah lihat?”
tanya Udin. Genta dan Leman menggeleng. Tetapi memang begitu banyak
pengamen di terminal ini, tidak semua yang mereka kenal.
Genta
berlari lari menyetop Bus Mayasaribakti yang merapat di halte. Ia mau
ke daerah Tebet, ke rumah Pakdhe Santoso yang mau hajatan sunat
Rio,sepupunya. Ia diminta datang menginap.
Ia duduk di
kursi belakang, terhimpit himpit oleh penuhnya penumpang. Genta sudah
terbiasa turun naik Bus kalau kemana mana. Meskipun baru berusia sepuluh
tahun tapi ia tidak pernah takut pergi sendirian.
Di
halte berikutnya Bus terasa merapat. Genta tidak bisa melihat keluar
karena terhalang penumpang penumpang dewasa yang berdiri.
Dari
arah depan Bus kemudian terdengar suara suara yang aneh. Suara bindeng ,
seperti orang bisu yang berusaha mengeluarkan suara. Antara sengau dan
bindeng. Genta berusaha melongok kearah suara itu tapi tak bisa.
“Kasihan ya, bindeng begitu masih berusaha ngamen…” kata seorang Bapak yang berdiri dekat Genta.
“Ooh
pengamen ya Pak…” ujar Genta mengangguk ngangguk. Mungkin pengamen ini
yang kemarin diceritakan Bambang. Dilihatnya seusai pengamen itu
menyanyikan lagu yang tidak jelas bunyinya, orang orang kelihatan
mengeluarkan uang receh mereka untuk siap siap diberikannya pada
pengamen bindeng itu.
Pengamen itu terdengar
menggoyangkan kantong uangnya yang sudah berisi uang receh. Genta juga
sudah menyiapkan uang logam seratus rupiah untuk diberikan pada pengamen
itu.
“Te..i..ma.a..iih” terdengar suara pemngamen itu berusaha mengucapkan terimakasih pada penumpang yang memberinya uang.
Ketika
pengamen itu menyeruak diantara rapatnya penumpang di belakang, Genta
kaget bukan main. Pengamen itu juga terlihat sangat terkejut melihatnya.
“Udin…?” desis Genta terpana.
Udin
yang mengenakan topi lusuh dan baju yang sebagian sudah robek langsung
bergegas menembus penumpang lalu melompat turun dari pintu belakang
ketika Bus merapat ke halte berikutnya.
Genta juga begegas turun di halte tersebut.
“Din!!!” ia berlari mengejar Udin yang berusaha menghindarinya di halte.
Ketika langkahnya sudah menjajari Udin, Genta menarik lengan temannya ke pinggir dimana tidak begitu banyak orang disana.
Udin menunduk malu.
“Jadi begitu cara kamu ngamen,Din?”tanya Genta”Pantas orang banyak kasih kamu uang…”
Udin
mengangguk, “Iya Gen,…soalnya aku nggak bisa nyanyi, nggak bisa main
alat musik juga,jadi aku berpura pura jadi pengamen bindeng saja…”
“Tapi itu namanya menipu,Din…” ujar Genta prihatin menyadari apa yang telah dilakukan Udin,
“Dan itu dosa. Kalau kamu nggak bisa nyanyi, nggak bisa main alat musik, kamu kan bisa nyemir kayak aku….asal Halal…”
“Tapi aku perlu banyak uang untuk Ibu!” kata Udin sengit.
“Tapi
kan bisa bisa dicari dengan cara yang Halal,Din…Allah Maha Mengetahui
kok. Kalau kamu sudah berusaha sebaik baiknya, dengan cara yang di
ridhoi Allah, Allah pasti akan kasih kamu jalan…itu yang dibilang Ustad
Adam, inget nggak?” tukas Genta, “Kalau dengan cara menipu orang seperti
ini, Allah malah marah Din…”
Udin terdiam.
Sebetulnya jauh di dalam hatinya ia juga tak ingin melakukan ini. Tetapi
setiap kali teringat wajah pucat Ibunya, ia jadi tidak perduli dengan
jalan yang ditempuhnya.
“Sudah lah,Din…aku juga nggak
mau memaksa kamu kok…Yang penting aku sudah ngingetin kamu…bahwa yang
kamu tempuh ini salah…Sudah ya, aku mau melanjutkan perjalanan ke rumah
Pakde ku….”kata Genta sambil bergegas meninggalkan Udin yang masih
menunduk.
“Gen!!” panggil Udin ketika Genta sudah
agak menjauh, “jangan bilang bilang teman teman yang lain ya…aku
malu…Mulai besok aku boleh ikut nyemir bareng kamu?”
Genta mengangguk pasti, “Tentu Din! Kau masih punya kotak semir cadangan di rumah, kamu bisa pakai dulu…”
Seminggu
kemudian ketika Genta dan teman temannya sedang beristirahat di
perempatan jalan seperti biasa, Genta mendengar Bambang bicara pada
Leman.
“Heran, kata Bang Poltak, pengamen bindeng itu seminggu ini sudah nggak kelihatan ngamen lho, Man..”
Udin memandang Genta dengan pandangan berterimakasih karena Genta tidak menceritakan apa yang diketahuinya pada teman temannya.
No comments:
Post a Comment