1. Sejarah
dan Perkembangan Public Relations di Dunia
Awal public relation pertama sekali muncul dapat dilacak melalui
peradaban-peradaban besar di masa lalu, seperti Babylonia, Mesir, Yunani kuno,
dan Romawi. Teknik-teknik yang biasa digunakan dalam PR sekarang sudah
digunakan oleh raja atau pemuka agama dahulu kala untuk membujuk warganya agar
menerima otoritas mereka, di antaranya melalui komunikasi interpersonal,
pidato, seni, sastra, pertunjukan-pertunjukan, publikasi, dan sebagainya.
Pada abad-abad setelah Masehi teknik-teknik serupa juga digunakan oleh
pemimpin agama, raja, penjelajah, dan pedagang. Pada abad ini ide menggunakan
segala bentuk dan media komunikasi yang bertujuan untuk mempengaruhi orang lain
bukanlah hal yang baru. Hal tersebut dibuktikan melalui pemakaian kata
propaganda yang sering dihubungkan dengan PR yang pertama sekali digunakan di
abad ke-17 oleh gereja Katolik yang ditandai dengan pendirian College of
Propaganda oleh Paus Gregory XV yang bertujuan untuk melatih misionaris-misionaris
yang akan dikirim ke luar negeri.
Prinsip Public Relations telah pula dilakukan oleh orang-orang Yunani dan
Romawi dengan dasar-dasar vox populi (suara rakyat) dan republica (kepentingan
umum). Pada zaman keemasan negaranya Olimpic Games, Dionysian Festivals, dan
upacara-upacara keagamaan lainnya telah menggalakkan saling tukar pendapat dan
perkembangan semangat dan kesatuan nasional.
Kota-kota di Yunani semakin mencerminkan opini publik. Para pemimpin
semakin sadar akan hubungan mereka dengan rakyatnya melalui apa yang sekarang
dianamkan public relations.
Demikian pula orang-orang Romawi, telah memiliki konsep opini publik dan
Public Relation melalui pontifexmaximus (Imam Agung)) yang mencatat segala
pemberitahuan atau kejadian pada annals (papan tulis atau papan pengumuman yang
dipampangkan di rumah Imam Agung), di mana rumores, vox populi atau res
publicae (peristiwa-peristiwa umum dan penting) dari SPQR (pemerintahannya atau
Dewan Kerajaan dan Rakyat Romawi) disiarkan kepada umum.Kemudian oleh Mahajara
Caesar annels itu diganti dengan acta diurnal (peristiwa sehari-hari yang
dicatat dalam papan tulis) yang dipasang di Forum Romanum (Stadion Romawi)
untuk diketahui oleh umum.
Publik relation modern muncul melalui perkembangan
tiga fungsi utama PR, yaitu agen pemberitaan, publisitas, dan konseling.
Tokoh-tokoh pahlawan dalam mitologi atau sejarah digunakan untuk menarik
perhatian orang. Pada abad 19, para pebisnis maupun politikus di Amerika
menggunakan tokoh-tokoh fiktif maupun nyata, seperti John Henry, Daniel Boone,
Davy Crockett, Buffalo Bill, Annie Oakley, dan sebagainya untuk mempengaruhi
dan menarik perhatian publik. Tokoh yang dianggap master
of pseudoevent adalah PT Barnum, seorang pemilik sirkus di Amerika pada
abad 19.
Perang Dunia I dan II juga ikut berpengaruh dalam perkembangan PR.
Menjelang masuknya Amerika dalam Perang Dunia I, pemerintah AS mendirikan Creel
Committee, sebuah komite yang bertugas menyebarluaskan ide-ide nasionalisme
di kalangan rakyat Amerika dan mempengaruhi opini publik dunia tentang perlunya
perdamaian dan demokrasi dalam hubungan antar bangsa. Selama Perang Dunia II,
pemerintah Amerika mendirikan Office of War Information (OWI), suatu
badan yang tujuan utamanya menggalang dukungan rakyat Amerika dan dunia untuk
memenangkan perang. Dalam perkembangan selanjutnya, PR menjadi bagian yang
sangat penting dalam dunia bisnis, politik maupun sosial. Beberapa tokoh pelopor public relation
Amerika selain Ivy Lee, antara lain adalah Benjamin Sonnenberg, Rex Harlow, dan
Leone Baxter.
Di Jerman, awal PR modern dapat dilacak melalui dokumen yang ditulis oleh
Alfred Knupp, pendiri Krupp Company, tahun 1866, berisi gagasan tentang
komunikasi antara perusahaan dengan publik melalui media masa (koran) dan
perlunya suatu badan atau orang dalam perusahaan yang mengelola masalah
ini. Usaha tersebut direalisasikan
Friederich Alfred Knupp, putra Alfred Knupp pada 1983 dengan mendirikan suatu
biro pemberitaan yang kemudian menjadi bagian dari manajemen perusahaan.
Kesuksesan Alfred Knupp ini kemudian diikuti oleh perusahaan-perusahaan besar
lainnya.
Perkembangan PR di Inggris dipelopori oleh Marconi Company yang
mendirikan sebuah departemen pada 1910 yang bertugas memberikan press
release tentang pencapaian perusahaan. Konseling PR profesional yang
pertama dikenalkan pada 1924 dengan mendirikan Editorial Services Ltd.
Dua media yang sangat penting dalam perkembangan public relation di
Inggris adalah Reuter dan British Broadcasting Company (BBC). Di
Australia, public relation pertama sekali dikenalkan Jenderal Douglas
MacArthur pada 1942. Staf-staf yang terampil dan terlatih dipekerjakan untuk
menyebarkan citra dan kebijakan perang MacArthur. Perkembangan industri ikut
memicu berdirinya Public Relation Institue of Australia (PRIA) tahun
1960.
Sejarah
perkembangan Public Relations di dunia dibagi dalam beberapa periode berikut ini :
1. PR as non organized activity periode ( Periode tahun 1700 –
1800 )
Periode dimana public relations muncul dalam bentuk aktivitas yang tidak
terorganisasi dengan baik, dikala itu banyak diwarnai dengan kegiatan penyatuan
pendapat rakyat umum untuk kemerdekaan/kebebasan dari perbudakan dan sistem
kolonialisme yang melanda dunia.Kegiatan diwarnai dengan acara yang sederhana,
penyelenggaraan pidato, pertemuan dan korespondensi antarindividu. Banyaknya
deklarasi kemerdekan membuat periode ini disebut juga dengan periode “Public of
Independence”
2. Periode
tahun 1801 – 1865 ( PR as organized activity periode)
Seiring dengan adanya kemajuan atau perkembangan bidang industri, keuangan,
perdagangan dan teknologi. Aktivitas Public Relations mulai terorganisasi
dengan baik, hal ini dapat dilihat dari Pesatnya perkembangan hubungan
perdagangan lokal, nasional maupun internasional.Periode ini disebut masa perkembangan
aktivitas PR ( PR of expansion) karena keberhasilan aktivitas PR/Humas dan pers
yang mengkampanyekan anti perbudakan di kawasan negara – negara Eropa, Amerika,
dan negara maju lainnya.
3. PR as professional ( Periode tahun 1866 – 1900 )
Pada masa ini, aktivitas PR berubah bentuk menjadi suatu kegiatan
profesional. Hal ini dikarenakan adanya perkembangan dari kemajuan teknologi
industri berupa meluasnya penggunaan listrik dan mesin pembakaran
(internal combustion engine).PR dimanfaatkan para robber barons (tuan tanah
perampok) untuk kegiatan bisnisnya yang menganut asas laissez faire, sistem
ekonomi monopoli yang tidak memperdulikan nasib rakyat/pekerjanya.Karena itu,
Public Relations pada masa ini disebut masa the public to be damned periode (1811
– 1900).
4. Public be informed periode ( Periode tahun 1901 – 1919 )
Aktivitas Public Relations pada masa ini adalah melakukan investigative
reporting (reportase investigasi) untuk melawan para petani, populis,
kristiani, sosialis dan serikat buruh yang memprotes keras tindak kejahatan
yang dilakukan oleh para usahawan, politisi tidak bermoral serta koruptor.
Mereka mengupah wartawan untuk membalas perlawanan tersebut dengan mempengaruhi
berita yang dimuat di media massa.
Tercatat dalam sejarah Public Relations. Pada tahun 1906 seorang paktisi
dan sekaligus tokoh Public Relations Amerika Serikat Ivy Ledbetter Lee,
berhasil mengatasi krisis pemogokan massal yang melumpuhkan kegiatan industri
pertambangan batu bara dan perusahaan kereta api Pennsylvania Rail Road
melalui strategi Management of PR Handling and Recovery. Dia berkerja sama
dengan pihak pers yang mengacu pada Declaration of Principles.
5. The Public Relations and mutual understanding periode (
Periode tahun 1920 – sekarang )
Pada tahun 1923 PR/Humas dijadikan bahan studi, pemikiran dan penelitian di
perguruan tinggi sebagai sebuah profesi baru. Perkembangan sekarang ini
menunjukan adanya penyesuaian, perubahan sikap, saling pengertian, saling
menghargai dan toleransi di berbagai kalangan organisasi dan publik.
Disamping
ini semua sejarah perkembangan Public relations bisa dilihat dari beberapa
gambaran kronologi seperti berikut ini;
1. Abad ke-19 : PR di Amerika dan Eropa
merupakan program studi yang mandiri didasarkan pada perkembangan Ilmu
pengetahuan dan teknologi.
2. 1865-1900
: Publik masih dianggap bodoh
3.
1900-1918 : Publik diberi informasi dan
dilayani
4. 1918-1945
: Publik diberi pendidikan dan dihargai
5. 1925
: Di New York, PR sebagai pendidikan tinggi resmi
6. 6.
1928
: Di Belanda memasuki pendidikan tinggi dan minimal di fakultas sebagai mata
kuliah wajib. Disamping itu banyak diadakan kursus-kursus yang bermutu.
7. 1945-1968
: Publik mulai terbuka dan banyak mengetahui
8. 1968
: Di Belanda mengalami perkembangan pesat. Ke arah ilmiah karena penelitian
yang rutin dan kontinyu.
Di Amerika perkembangannya
lebih ke arah bisnis.
1.
1968-1979 : Publik dikembangkan di berbagai
bidang, pendekatan tidak hanya satu aspek saja
2.
1979-1990 : Profesional/internasional
memasuki globalisasi dalam perubahan mental dan kualitas
1.3 Sejarah
dan Perkembangan Public Relation di Indonesia
Menurut
Onong Uchjana Effendy (1991: 12), public relations di Indonesia dimulai sejak
tahun 1950. Perkembangan hubungan masyarakat di Indonesia bergerak menyertai
kondisi politik dan kenegaraan saat itu. Pada waktu itu pemerintah Indonesia
menyadari perlunya rakyat Indonesia untuk mengetahui segala perkembangan yang
terjadi sejak pengakuan kedaulatan Indonesia oleh kerajaan Belanda. Berawal
dari pemikiran tersebut maka kegiatan kehumasan mulai dilembagakan dengan
menyandang nama hubungan masyarakat karena kegiatan yang dilakukan lebih banyak
untuk ke luar organisasi.
Menurut
Rhenald Kasali dalam bukunya Manajemen PR disebutkan bahwa PR di
Indonesia mulai berkembang seiring dengan perkembangan PR di dunia atau Asia.
Public Relations awalnya digunakan untuk kepentingan usaha dalam bentuk seperti
Olimpiade Korea Selatan, Glassnot Perestroika, Kasus Lemak Babi 1988, dan
lain-lain. Olimpiade yang diselenggarakan oleh tuan rumah Korea Selatan di
tahun 1988 menggunakan salah satu jasa konsultan PR. Olimpiade adalah suatu
event international menyita perhatian semua orang bahkan samapai saat ini.
Sebagai tuan rumah, Korea Selatan ingin bangkit menunjukkan eksitensi dirinya
yang memang salah satu keinginannya adalah membuka pasar di dunia untuk
memasarakan produk – produknya. Dalam kaitan inilah PR berfungsi. Public
Relations digunakan oleh pihak swasta di Indonesia pertama kali oleh PERTAMINA,
sebuah perusahaan minyak. Public Relations di Indonesia memang sudah banyak
digunakan baik itu di pihak pemerintah maupun swasta di berbagai sektor. Konsep
Public Relations dipahami dan digunakan oleh pihak–pihak tersebut dengan
berbagai macam pemahaman dan berbagai macam bentuk implementasinya. (Iwan
Awaluddin Yusuf)
a. Perkembangan Public Relation
Pada Masa Kerajaan
Pada dasarnya praktik public relation sudah ada di Indonesia sebelum
kedatangan Belanda. Hal ini terbukti bahwa, pada masa kerajaan-kerajaan di
Indonesia yaitu pada masa kerajaan Mataram dimana adanya usaha penembahan
Senopati untuk menyebarkan ”gosip” bahwa keturunannya akan menjadi pasangan dan
lindungan Nyai Roro Kidul. Menurut salah satu versi sejarah, usaha itu
dimaksudkan untuk menyaingi pengaruh pada adipati di pesisir utara Jawa yang
kekuasaannya drestui oleh para Sunan atau Wali yang sangat disegani.
b. Perkembangan Public Relation
Pada Masa Kemerdekaan
Ketika merumuskan konstitusi, ada banyak jurnalis atau wartawan yang menunggu
kelanjutan peritiwa setelah proklamasi kemerdekaan sehari sebelumnya. Akhirnya
pertemuan itu ditunda untuk memilih presiden dan wakil presiden pertama
Indonesia dan diumumkan kepada para jurnalis yang ada. Itu, fase media
relations yang penting.
Ketika perang kemerdekaan, adalah Soedarpo Sastorsatomo yang mengelola media relations sebagai Menteri Penerangan. Ia mengelola media relations di dalam negeri hingga mendukung diplomasi di PBB, termasuk untuk mengemas citra Indonesia di luar negeri. RRI juga disebut sebagai bagian dari aktivitas public relation ketika mengeluarkan program siaran luar negeri, yang kini pemancarnya ada di kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Ada pula upaya untuk membantu India dalam mengatasi kelaparan dalam Program Rice for India, sekalipun Indonesia belum memiliki surplus beras.
Ketika perang kemerdekaan, adalah Soedarpo Sastorsatomo yang mengelola media relations sebagai Menteri Penerangan. Ia mengelola media relations di dalam negeri hingga mendukung diplomasi di PBB, termasuk untuk mengemas citra Indonesia di luar negeri. RRI juga disebut sebagai bagian dari aktivitas public relation ketika mengeluarkan program siaran luar negeri, yang kini pemancarnya ada di kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Ada pula upaya untuk membantu India dalam mengatasi kelaparan dalam Program Rice for India, sekalipun Indonesia belum memiliki surplus beras.
c. Perkembangan Public Relation
Pada Masa Orde Baru
Setelah perang kemerdekaan, mulai berdatangan beberapa perusahaan minyak
diantaranya Shell, Stanvac, Caltex. Sebagai perusahaan multinasional, mereka
memiliki organ bernama public relation. Dimana S. Maimoen, R Imam Sajono dan
Soedarso yang di tahun 1950-an mulai dikenal sebagai PR Officer yang berlatar
belakang dari kalangan jurnalistik. Tahun 1954, Garuda Indonesian Airways mulai
mengembangkan unit public relation. Di tahun 1955, Mabes Polri menjadi
institusi pemerintah pertama yang memiliki unit public relation. Kemudian
diikuti oleh RRI. Sekalipun demikian, beberapa angkatan bersenjata juga
memiliki unit informasi yang dibawa kontrol presiden waktu itu. Di tahun 60-an,
istilah ”purel” sebagai akronim public relations makin populer digunakan
ketimbang term kehumasan.
Konsultan public relation “Pertama” Adalah PT Inscore Zecha yang dipimpin
M. Alwi Dahlan tercatat sebagai konsultan public relation pertama yang berdiri
di Indonesia tahun 1972. Kebanyakan mereka mengelola kepentingan publisitas
dalam bentuk iklan. Sejak tahun 1970, sekitar 20 tahun national Development
Information Office mendukung pengelolalaan public relation pemerintah RI untuk
dunia internasional.Universitas Padjajaran menjadi universitas pertama yang
membuka Fakultas Public Relations di
tahun 1964 dengan ibu Oemi Abdulrachman yang menjadi dekannya. Setelah itu,
banyak berkembang pendidikan public relation dalam bentuk program studi hingga
pendidikan di tingkat diploma. Tanggal 15 Desember 1972 merupakan momen
deklarasi asosiasi public relation Indonesia yaitu Perhumas yang dihadiri oleh
beberapa PRO perusahaan minyak dan konsultan serta akademisi term Asosiasi PR.
Di tahun 1974 posisi unit public relation dalam organisasi pemerintah sudah
mulai dipegang pejabat eselon III. Beberapa tahun kemudian meningkat menjadi
eselon II. Karena itulah di tahun 1974 ada Badan Koordinasi Humas (Bakohumas)
yang diketuai Direktur Humas Pembangunan Menteri Penerangan.
Dalam pertemuan di Kuala Lumpur, 26 Oktober 1977, Perhumas bersama asosiasi
humas di negara-negara ASEAN bergabung dalam Federasi Organisasi public
relation ASEAN dan menggelar Kongres PR Asean pertama di tahun 1978 di Manila.
Pada tanggal 10 April 1987, Asosiasi Perusahaan public relation Indonesia
dibentuk suatu wadah profesi Humas yg disebut APPRI ( Assosiasi Perusahaan
Public relation Independen ) yang mempunyai tujuan :
1.
Mewujudkan fungsi PR yang jujur,Bertanggung jawab sesuai dengan kode etik
2. Memberi Informasi terhadap Klien bahwa APPRI memberi Nasehat dalam PR
3. Mengembangkan kepercayaan umum atas public relation
2. Memberi Informasi terhadap Klien bahwa APPRI memberi Nasehat dalam PR
3. Mengembangkan kepercayaan umum atas public relation
Dan kemudian
tanggal 11 November 2003, tercatat sebagai kelahiran PR Society Indonesia.
Public Relations (PR) secara konsepsional dalam pengertian “State of Being “ di Indonesia baru dikenal pada tahun 1950-an, Setelah kedaulatan Indonesia diakui oleh Kerajaan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Dimana pada saat itu, Indonesia baru memindahkan pusat ibu kota dari Yogyakarta ke Jakarta. Tentu saja, proses pembenahan struktural serta fungsional dari tiap elemen-elemen kenegaraan baik itu legislatif, eksekutif, maupun yudikatif marak dilakaukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah menganggap penting akan adanya badan atau lembaga yang menjadi pedoman dalam mengetahui“ Who we are, and what should we do,first? “. Oleh sebab itu, dibentuklah Departemen Penerangan. Namun, pada kenyataannya, departemen tersebut hanya berdedikasi pada kegiatan politik dan kebijaksanaan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Dengan kata lain, tidak menyeluruh.
Dengan alasan demikian, pada tahun 1962 , dari Presidium Kabinet PM Juanda, menginstruksikan agar setiap instansi pemerintah harus membentuk bagian atau divisi Humas (PR), ditahun itulah, periode pertama cikal bakal adanya Humas di Indonesia.
Namun, tidak berhenti disitu saja, PR berkembang sesuai dengan keadaan yang terjadi. Dimulai dengan pengambilan kata “Humas” yang merupakan terjemahan dari Public Relations. Maka tak heran, kita sering menemui penggunaan sebutan “ Direktorat Hubungan Masyarakat” atau “Biro Hubungan Masyarakat” bahkan “ Bagian Hubungan Masyarakat “ sesuai dengan ruang lingkup yang dijangkau.
Public Relations (PR) secara konsepsional dalam pengertian “State of Being “ di Indonesia baru dikenal pada tahun 1950-an, Setelah kedaulatan Indonesia diakui oleh Kerajaan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Dimana pada saat itu, Indonesia baru memindahkan pusat ibu kota dari Yogyakarta ke Jakarta. Tentu saja, proses pembenahan struktural serta fungsional dari tiap elemen-elemen kenegaraan baik itu legislatif, eksekutif, maupun yudikatif marak dilakaukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah menganggap penting akan adanya badan atau lembaga yang menjadi pedoman dalam mengetahui“ Who we are, and what should we do,first? “. Oleh sebab itu, dibentuklah Departemen Penerangan. Namun, pada kenyataannya, departemen tersebut hanya berdedikasi pada kegiatan politik dan kebijaksanaan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Dengan kata lain, tidak menyeluruh.
Dengan alasan demikian, pada tahun 1962 , dari Presidium Kabinet PM Juanda, menginstruksikan agar setiap instansi pemerintah harus membentuk bagian atau divisi Humas (PR), ditahun itulah, periode pertama cikal bakal adanya Humas di Indonesia.
Namun, tidak berhenti disitu saja, PR berkembang sesuai dengan keadaan yang terjadi. Dimulai dengan pengambilan kata “Humas” yang merupakan terjemahan dari Public Relations. Maka tak heran, kita sering menemui penggunaan sebutan “ Direktorat Hubungan Masyarakat” atau “Biro Hubungan Masyarakat” bahkan “ Bagian Hubungan Masyarakat “ sesuai dengan ruang lingkup yang dijangkau.
Jika dikaitkan dengan state of being, dan sesuai dengan method of communication,
maka istilah Humas dapat dipertanggung jawabkan. Tetapi, jika kegiatan yang
dilakukan oleh Kepala Hubungan Masyarakat itu, hanya mengadakan hubungan dengan
khalayak di luar organisasi, misalnya menyebarkan press release ke massa media,
mengundang wartawan untuk jumpa pers atau wisata pers, maka istilah hubungan
masyarakat tersebut tidaklah tepat apabila dimaksudkan sebagai terjemahan dari
public relations. Itulah yang dialami oleh Indonesia, yang ternyata lupa akan
aspek secara hakiki dari PR itu sendiri. Seperti, Pertama, Sasaran PR adalah
public intern (internal publik ) dan public ekstern (Eksternal Publik).
Internal Publik adalah orang-orang yang berbeda atau tercakup organisasi,
seluruh pegawai mulai dari staff hingga jendral manager. Eksternal Publik ialah
orang-orang yang berada di luar organisasi yang ada hubungannya dan yang
diharapkan ada hubungannya. Seperti Kantor Penyiaran, PR harus menjalin
hubungan dengan pemerintah, asosiasi penyiaran Indonesia, sebagai organisasi
yang berhubungan, selain itu dengan berbagai macam perusahaan, biro iklan, LSM,
dan masyarakat luas, sebagai calon pembuatan relasi kerja sama.
Kedua, kegiatan PR adalah komunikasi dua arah( reciprocal two ways traffic
communications ). Artinya, dalam penyampaian informasi PR diharapkan untuk
menghasilkan umpan balik, sehingga nantinya dapat menjadi bahan evaluasi
perusahaan agar lebih baik.
Ternyata,
orientasi PR Indonesia belum seutuhnya dapat dikatakan sebagai “ PR Sejati “.
Sebab berbeda dengan konsep yang diterapkan oleh bapak PR, Ivy L.Lee, yakni
mempunyai kedudukan dalam posisi pemimpin dan diberi kebebasan untuk
berprakarsa dalam meyiapkan informasi secara bebas serta terbuka.
Bapak Rosady Ruslan, SH, MM membagi perkembangan Public Relations di
Indonesia menjadi 4 periode, yaitu :
a. periode 1 ( tahun 1962 )
Secara resmi di jelaskan bahwa Humas di Indonesia lahir melalui presidium
kabinet PM juanda. Di dalamnya di jelaskan pula secara garis besar tugas ke
humasan dinas, yaitu;
a. Tugas Strategi untuk ikut serta dalam pembuatan
keputusan oleh pemimpin hingga pelaksanaannya
b.Tugas Taktis untuk memberikan informasi, motivasi,
pelaksanaan komunikasi timbal balik dua arah supaya tercipta citra atas lembaga
yang diwakili.
b. Periode
tahun 1967-1971
Pada periode ini terbentuklah Badan Koordinasi Kehumasan (BAKOHUMAS)
dengan tata kerja pelaksanaannya antara lain; Ikut serta dalam berbagai
kegiatan pemerintah dalam pembangunan khususnya dibidang penerangan dan
kehumasan, pembinaan dan pengembangan kehumasan. Tahun 1967 berdiri koordinasi
antara humas departemen yang disingkat “Bakor” dan pada tahun 1970-1971 bakor
diganti menjadi “Bakohumas” yang diatur melalui SK Menpen No.
31/kep/menpen/tahun 1971. Kerjasama ini menitik beratkan pada pemantapan
koordinasi intergrasi dan singkronisasi dalam operasi penerangan dan kehumasan.
c. Periode tahun 1972-1993
Periode ini di tandai dengan munculnya Public Relations kalangan
profesional pda lembaga swasta umum dengan indikator sebagai berikut;
a. Pada tanggal 15 Desember 1972,
berdiri organisasi yang disebut Perhimpunan Hubungan masyarakat Indonesia
(PERHUMAS) sebagai wadah profesi humas oleh kalangan praktisi swasta dan
pemerintah seperti; Wardiman Djojonegoro (mantan mendiknu) dan Marah Joenoes
(matan Kahupnas pertamina). Pada konvensi nasional humas di Bandung akhir tahun
1993 lahirlah Kode Etik Kehumasan Indonesia yang disebut “KEKI”.
Perhumas juga tercata sebagai anggota internasional public relations
assosiation (IPRA) dan ASEAN PRO (FAPRO).
b. Pada tanggal 10 April 1987 di Jakarta terbentuk
Assosiasi Perusahaan Public Relatios (APPRI) dengan beberapa tujuan untuk
mewujudkan PR yang independen, seperti;
1. Mewujudkan fungsi Public Relations yang jujur dan bertanggung jawab dengan kode etik
2. Memberi informasi terhadap klien bahwa APPRI memberi nasehat dalam
public relations.
3. Mengembangkan kepercayaan umum terhadap public relations.
d. Periode 1993-sekarang
Public relations berkembang di kalangan swasta bidang profesional khusus
dengan indikator sebagai berikut;
a. Pada tanggal 27 November 1995, terbentuk
himpunan Humas Berbintang (H-3). Himpunan ini di peruntukkan sebagai wadah
organisasi profesi HUMAS bidang jasa perhotelan, berkaitan erat dengan
organisasi PHRI (perhimpunan Hotel dan Restoran di Indonesia).
b. Tanggal 13 september 1996, diresmikannya
Forum Komunikasi Antar Humas Perbankan (FORKAMAS) oleh gibernur BI Soedradjad
Djiwandono. Forum ini resmi bagi para pejabat HUMAS (Public Relations Officer),
baik bank pemerintah (HIMBARA), swasta (PERBANAS), dan asing yang beroperasi di
bidang jasa perbankan di Indonesia.
c. Keluarnya SK BAPEPAM No. 63/1996,
tentang wajibnya pihak emitmen (perusahaan yang go public) di pasar Bursa Efek
Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya yang memiliki lembaga Secretary.
d. Berdirinya PRSI (Public Relations Society of
Indonesia) pada tanggal 11 November 2003 di jakarta. Ini menyerupai PRSA (Pubic
Relations society of Amerika), sebuah organisasi profesional yang bergengsi dan
berpengaruh serta mampu memberikan sertifikasi akreditasi PR profesional (APR)
di Amerika yang di akui secara internasional.
e. PRSI atau masyarakat PR Indonesia
(MAPRI) pertama kali di pimpin oleh August Parengkuan seorang wartawan senior
harian kompas da mantan ketua perhumas-Indonesia. Tujuan organisasi ini adalah
meningkatkan kesadara, kepedulian, kebersamaan, pemberdayaan serta partisipasi
para anggotanya untuk berkiprah sebagai PR professional dalam aktivitas secara
nasional maupun internasional.
Meski dikatakan PR di Indonesia berkembang cukup pesat namun Public Relations
di Indonesia sendiri lupa akan hakikinya. Seperti yang terdapat dalam sasaran
PR yaitu Internal dan Eksternal Public. Namun sekarang, PR lebih
intens terhadap eksternal public selain itu PR juga merupakan komunikasi dua
arah (Reciprocal two ways traffic communications). Artinya, dalam PR
penyampaiannya public relations di harapkan untuk menghasilkan umpan balik
sehingga nantinya diharapkan dapat menjadi evaluasi.
Pada periode
pertama public relations di Indonesia secara struktural belum banyak yang bisa
ditempatkan dalam top management karena orientasinya belum bisa
dikatakan sebagai “PR Sejati” sebab berbeda dengan pengertian konsep PR yang di
terapkan oleh Ivy L.Lee. Namun, meskipun begitu hingga kini
perkembangan-perkembangan PR terus ada dan di Indonesia juga berkembang hingga
bisa dikatakan “PR Sejati” hal ini merupakan akibat dari perkembangan teknologi
yang membawa perubahan.
Sehingga
kini, dapat disinkronisasikan dengan rumusan fungsi PR dari Departemen
Penerangan R.I, yaitu;
1. Melaksanakan Hubungan
ke dalam, yaitu pemberian pengertian tentang segala hal mengenai Departemen
Penerangan terhadap “Internal Public” yaitu para karyawan.
2. Melakukan hubungan ke
luar, yaitu pemberian informasi tentang segala hal mengenai Departemen
Penerangan terhadap “External Public” yaitu masyarakat pada umumnya.
3. Melakukan pembinaan
serta bimbingan untuk mengembangkan Kehumasan sebagai medium penerangan.
4. Meyelenggarakan
Koordinasi Integrasi dan Sinkronisasi serta kerjasama kegiatan Hubungan
Masyarakat untuk penyempurnaan pelayanan penerangan terhadap umum.
Dari beberapa keterangan bisa disimpulkan bahwa sejarah perkembangan PR di
Indonesia terus berkembang hingga saat ini dan tidak memperkecil kemungkinan
kalau PR di Indonesia akan terus mengalami perubahan secara signifikan dari
tahun ke tahun.
1.4 Pelopor
dan Tokoh PR di Dunia
Ivy
Ledbetter Lee, lulusan dari Princeton, adalah wartawan yang meliput
dunia bisnis. Setelah lima tahun menjadi wartawan, pada tahun 1903 Lee berhenti
dari pekerjaannya yang bergaji kecil di World untuk bekerja pada kampanye Seth
Low menjadi walikota New York. Pekerjaan itu menuntunnya bekerja sama dengan
George F. Parker di bidang biro pers bagi Komite Nasional Demokrat selama
kampanye Presiden 1904 (Cutlip, Center & Broom, 2005: 96).
Lee dan Parker sempat membentuk kemitraan the Parker and Lee, yang ditutup
pada tahun 1908, karena Ivy Lee menjadi agen publisitas pertama bagi Jawatan
Kereta Api Pensylvania.
Lee, sewaktu dipekerjakan George F. Bear pada kasus pemogokan batubara
anthracide (yang sulit panas) tahun 1906, menerbitkan "Deklarasi
Prinsip-prinsip" yang dikatakan oleh Eric Golfman bahwa deklarasi ini
"menandai kemunculan kehumasan tahap kedua. Publik tidak lagi diabaikan
pada cara bisnis tradisional, tidak pula dibodohi pada cara agen pers yang
tetap berlangsung hingga sekarang."
Deklarasi Lee lalu dikirimkan melalui pos ke seluruh editor kota, yang
bunyinya sebagai berikut:
”Ini bukan
biro pers rahasia. Seluruh pekerjaan kami dilakukan dalam suasana keterbukaan.
Tujuan kami memasok berita. Ini bukan agen periklanan; jika anda pikir jenis
tulisan ini harus secara tepat masuk ke kantor anda, jangan gunakan tulisan
itu. Tulisan kami akurat. Rincian lebih lanjut atas pokok bahasan apa saja yang
dibahas akan disediakan dengan segera, dan editor siapa saja akan dibantu
dengan sangat gembira, guna memverifikasi secara langsung pernyataan fakta apa
saja ... Ringkas kata, secara sopan dan terbuka, atas nama permasalahan dunia
bisnis dan lembaga publik, rencana kami adalah memasok ke pers dan publik
Amerika Serikat informasi yang cepat dan akurat mengenai pokok masalah yang
dianggap bernilai dan menarik perhatian publik untuk mengetahuinya.”
Meskipun para wartawan diijinkan meliput pemogokan tersebut, Lee memberikan
laporan baru setelah dilakukan rapat pemogokan. Lee adalah salah seorang yang
pertama menggunakan sistem handout (sekarang dinamakan press release atau news release)
dalam skala besar.
Selama periode ini, Lee menggunakan istilah "publisitas" untuk
menggambarkan apa yang sekarang dinamakan hubungan masyarakat atau PR; konsep
itu dan kesuksesan Lee tumbuh cepat. Pada December 1914, berdasarkan saran
Arthur Brisbane, Lee dipilih sebagai penasihat pribadi John D. Rockefeller Jr.
Kelompok Rockefellers sedang diserang keras karena kegiatan tetap-bekerja pada
saat terjadi pemogokan pada Colorado Fuel dan Iron Company milik mereka. Lee
melayani Rockefeller hingga kematiannya pada 1934.
Ivy Lee melakukan banyak pekerjaaan yang menjadi pekerjaan dasar praktek
kontemporer. Meskipun dia tidak menggunakan istilah PR hingga setidaknya 1919,
Lee menyumbangkan banyak teknik dan prinsip yang diikuti oleh para praktisi
sekarang. Lee mendorong pertumbuhan departemen publisitas dan melatih penasihat
publisitas di banyak lembaga. Selama 31 tahun dia berkecimpung di bidang
kehumasan. Lee mengubah lingkup atas bidang yang dikerjakannnya dari
"keagenan murni" ke menjadi "pemikir yang dipercaya untuk diajak
bekerja sama oleh dunia bisnis."
Rekor Lee, meskipun sangat besar, tidak bebas dari kritik. Sewaktu dia
meninggal, dia diberhentikan dari pekerjaan sebagai perwakilan the German Dye
Trust, yang dikendalikan oleh I. G. Farben. Lee menjadi penasihat kartel itu
setelah Adolf Hitler berkuasa di Jerman dan Nazi mengambil alih kendali. Lee
dibayar fee tahunan $25.000 dan ganti atas pengeluaran (jumlah yang besar pada
saat itu) oleh perusahaan Farben dari ketika dia pensiun pada 1933 hingga perusahaannya
menghentikan pelanggan itu segera setelah kematiannya pada 1934.
Rex F.
Harlow, adalah orang yang berpengalaman dan mengetahui perlunya jasa publisitas
di bagian lain AS. Rex F. Harlow memulai karirnya pada 1912 di Oklahoma City
ketika dia dipekerjakan oleh kakak laki-lakinya untuk mempromosikan Harlow's
Weekly. Pada 1980-an Harlow menjalani dan membantu membentuk praktek kehumasan
sekarang ini. Sewaktu mengajar di Universitas Stanford pada 1939, dia mulai
mengajar mata kuliah kehumasan dan mendirikan the American Council on Public
Relations (ACPR).
Pada 1945 dia membuat majalah bulanan "Public Relations Journal",
yang diterbitkan hingga 1995 oleh the Public Relations Society of America
(PRSA). Organisasi ini dibentuk pada 1948 sewaktu ACPR milik Harlow merger
dengan the National Association of Public Relations Council. Harlow meninggal
16 April 1993, pada usia 100 tahun.
Praktik kontemporer kehumasan pertama kali muncul sebagai tindakan
defensif, tetapi Perang Dunia I memberinya suntikan ofensif. Presiden Woodrow
Wilson, yang sangat sadar akan pentingnya opini publik, membentuk the Commite
on Public Information (CPI) - sering disebut sebagai the Creel Commitee. The
CPI harus memobilisasi opini publik dalam rangka mendukung upaya perang dan
sasaran damai Wilson di negeri yang opininya cukup terpecah-pecah ketika perang
diumumkan. George Creel dipilih sebagai pemimpinnya.
George Creel beserta CPI
memperlihatkan yang belum pernah diperlihatkan sebelumnya mengenai kekuatan
publisitas untuk memobilisasi pendapat. Creel tidak memiliki manual kampanye
yang dapat dia jadikan pedoman. Dia berimprovisasi ketika dia melakukan tugas
itu. Contohnya, dia tidak memiliki radio atau televisi nasional untuk
menjangkau AS secara cepat, karenanya dia menciptakan the Four Minuteman,
jaringan relawan yang meliput sejumlah 3.000 counties (kabupaten) di AS. Para
relawan itu, yang disiagakan via telegram dari Washington, akan berpencar dalam
rangka berbicara dengan sekolah, gereja, klub jasa, dan perjumpaan massa
lainnya. Menjelang akhir perang mendekati 800.000 pesan empat menit itu telah
dikirimkan ke sebanyak 400.000 orang. Upaya CPI yang dikepalai oleh Creel dan
Carl Byoir ditulis riwayatnya secara urut pada karya Creel How We Advertised
America dan karya Mock dan Larson, "Words
That Won the War".
Creel menggabung-gabungkan dengan brilian dan terampil kelompok wartawan,
cendekiawan, agen atau orang pers, editor, artis, dan juru manipulasi simbol
opini publik lainnya menjadi Amerika bersatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya
dalam rangka mencapai sasaran tunggal. Lingkup yang menakjubkan atas keagenan
besar beserta kegiatannya tidak akan tertandingi hingga kemunculan diktator
totaliter setelah perang itu. Creel, Byoir, dan para mitra kerja mereka
merupakan penasihat kehumasan bagi pemerintah AS, yang lebih dahulu
menyampaikan ke penduduk negeri itu dan kemudian ke orang di tempat yang jauh
mengenai gagasan yang memberikan kekuatan motivasi atas keadaan perang yang
dilaksanakan 1917-1918.
Carl Byoir.
The Creel
Commite melatih banyak praktisi yang memanfaatkan pengalaman mereka sewaktu perang
dan membuat mereka mampu memanfaatkan panggilan kerja yang menguntungkan. Di
antara mereka adalah Carl Byoir dan Edward L. Bernays. Byoir, yang pada usia 28
telah menjadi mitra kerja yang memimpin the CPI, setelah perjalanan satu
dasawarsa ke bentuk-bentuk usaha lain yang didirikan pada 1930 yang kemudian
menjadi salah satu perusahaan kehumasan terbesar di AS hingga perusahaan itu
diakuisisi oleh keagenan periklanan the Foote, Cone, & Belding pada 1978.
Bernays, yang memiliki peran kecil di the CPI, mulai 1920-an menjadi salah satu
orang yang mendefinisikan bidang profesi kehumasan dan penganjur kehumasan yang
tidak mengenal lelah.
Edward L.
Bernays dan Doris E. Fleischman. Salah satu pesaing Ivy Lee dalam
mendapatkan pengaruh dan bisnis pada era 1920-an adalah Edward L. Bernays.
Sebelum Perang Dunia I, Bernays pernah bekerja sebagai agen pers. Semasa
bekerja untuk Creel Committee selama perang, pikirannya selalu sarat dengan
mimpi tentang kemungkinan mendapatkan pekerjaan tetap dari apa yang disebutnya
sebagai "rekayasa persetujuan publik.” Bemays dianggap berjasa dalam
menemukan istilah "public relations counsel" dalam "Crystalizing
Public Opinion", buku pertama tentang PR pada 1923.
Ia merintis lebih banyak bidang baru ketika memberi kuliah PR pertama di New York University. Bernays melanjutkan perannya sebagai pengarang, dosen, advokat, dan kritikus hingga memasuki dekade 1990-an. Majalah Life mencanturnkan Bernays dalam edisi khusus 1990, "The 100 Most Important Americans of the 20th Century." Ia meninggal dunia pada 9 Maret 1995 pada usia 103 tahun.
Ia merintis lebih banyak bidang baru ketika memberi kuliah PR pertama di New York University. Bernays melanjutkan perannya sebagai pengarang, dosen, advokat, dan kritikus hingga memasuki dekade 1990-an. Majalah Life mencanturnkan Bernays dalam edisi khusus 1990, "The 100 Most Important Americans of the 20th Century." Ia meninggal dunia pada 9 Maret 1995 pada usia 103 tahun.
Bernays menikah dengan Doris E. Fleischman pada 1922. Mereka bersama-sama
mengelola firma Edward L. Bernays, Counsel on Public Relations, hingga resmi
pensiun dari praktek aktif pada 1962. Sang isteri meninggal pada 1980. Mereka
memberi konsultasi bagi perusahaan-perusahaan besar, badan pemerintahan, dan Presiden
AS mulai dari Calvin Coolidge hingga Dwight Eisenhower, dengan Bernays sebagai
bintang dalam sebagian besar tugas. Meski dipandang sebagai mitra sejajar
Bernays dalam perusahaan, dengan menciptakan jurnal hubungan masyarakat pertama
dan bekerja sama dengan Bernays dalam mengembangkan istilah public relations
counsel, Fleischman berjuang untuk persamaan profesional karena ia seorang
wanita.
Fleischman
merupakan feminis muda yang setelah menikah dengan Bernays tetap memakai nama
belakangnya sendiri jauh sebelum hal ini dapat diterima masyarakat. Selama
tiga dekade Fleischman mendaftarkan diri di hotel, dan dua kali di rumah sakit
bersalin, sebagai "Nona Doris E. Fleischman," dan pada 1925 ia
menerima paspor AS untuk wanita menikah dengan nama belakangnya sendiri. Nama
itulah yang dipakainya dalam buku 1928 yang disuntingnya untuk karier bagi
wanita, juga di artikel tujuh majalah dan bab-bab buku yang diterbitkannya
antara 1930 dan 1940.
Buku Bernays terbit menyusul "Public
Opinion" karya Walter Lippman yang terbit pada 1922, sebagai buku
yang mencerminkan peningkatan perhatian terhadap kekuatan dan hakikat opini
masyarakat. Pada tahun-tahun sebelum 1917, hanya ada 18 buku tentang opini
masyarakat dan publisitas yang diterbitkan. Setidaknya ada 28 judul yang
muncul antara 1917 dan 1925.
Perhatian para cendekiawan juga bermuasal dari periode ini. Ilmuwan sosial
mulai mengeksplorasi hakikat opini masyarakat dan peran komunikasi massa dalam
pembentukannya. Walaupun metode pengukuran opini belum muncul sebelum era
1930-an, karya pasca perang ilmuwan sosial banyak berperan dalam perkembangan
riset pasar, jajak pendapat opini masyarakat, dan ilmu komunikasi.
John W. Hill. Meski
terjadi ledakan ekonomi dan pertumbuhan media yang pesat, hanya ada enam firma
PR dalam daftar pelanggan telepon Manhattan pada 1926. Pada 1927, John W. Hill,
jurnalis dari Cleveland, membuka firma di kota itu. Pada 1933, ia membentuk
kemitraan dengan Don Knowlton, dan tidak lama setelah itu ia pindah ke New York
untuk mendirikan Hill and Knowlton, Inc. Knowlton tetap mengelola kantor di
Cleveland. Kedua firma yang hanya dihubungkan oleh kepemilikan yang tumpang
tindih itu beroperasi secara independen hingga 1964, ketika Knowlton pensiun
dan perusahaan di Cleveland dijual kepada perusahaan penerusnya. Hill meninggal
dunia pada 1977.
Pada 1980, JWT Group, perusahaan induk pemilik biro iklan J. Walter Thompson Company,
mengakuisisi Hill and Knowlton sebesar US$28 juta. Kelompok usaha JWT diambil
alih oleh konglomerat Inggris WPP Group, London, pada 1989.
Hill lama dipandang sebagai perintis konsultan PR yang etis dan dihormati. Peran Hill dalam membantu perusahaan-perusahaan tembakau besar dari Komite Riset Industri Tembakau (FIRC) mengancam legalitasnya. Atas rekomendasi Hill, para presiden perusahaan tembakau besar sepakat untuk mendanai TIRC, sementara Hill memperjuangkan perang tembakau mewakili industri rokok hingga ia pensiun dari Hill & Knowlton pada 1962. Selama kehidupan profesionalnya Hill menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki integritas dan prinsip dengan komitmen terhadap tulisannya. Kalau perusahaan klien yang ada mengadopsi kebijakan yang diyakini konsultan bukan merupakan kepentingan masyarakat, ia akan menasihati mereka untuk menentangnya. Jika integritas ada di tangannya, bersiaplah untuk kehilangan account apabila klien bersikap bertahan. Ketika ditanya langsung tentang perannya dalam pembentukan TIRC dan dalam PR tembakau, pada 1966 Hill menanggapi, "Saya menolak untuk mengomentari masalah ini mengingat account ini bersifat aktif dan sangat sensitif," dan tidak menutupi account tembakau Hill & Knowlton dalam riwayat hidupnya pada 1963, "The Making of Public Relations Man". Tetapi lama setelah Hill meninggal dunia, ada sedikit keraguan akan perannya dalam menciptakan garis depan PR bagi industri tembakau.
Hill lama dipandang sebagai perintis konsultan PR yang etis dan dihormati. Peran Hill dalam membantu perusahaan-perusahaan tembakau besar dari Komite Riset Industri Tembakau (FIRC) mengancam legalitasnya. Atas rekomendasi Hill, para presiden perusahaan tembakau besar sepakat untuk mendanai TIRC, sementara Hill memperjuangkan perang tembakau mewakili industri rokok hingga ia pensiun dari Hill & Knowlton pada 1962. Selama kehidupan profesionalnya Hill menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki integritas dan prinsip dengan komitmen terhadap tulisannya. Kalau perusahaan klien yang ada mengadopsi kebijakan yang diyakini konsultan bukan merupakan kepentingan masyarakat, ia akan menasihati mereka untuk menentangnya. Jika integritas ada di tangannya, bersiaplah untuk kehilangan account apabila klien bersikap bertahan. Ketika ditanya langsung tentang perannya dalam pembentukan TIRC dan dalam PR tembakau, pada 1966 Hill menanggapi, "Saya menolak untuk mengomentari masalah ini mengingat account ini bersifat aktif dan sangat sensitif," dan tidak menutupi account tembakau Hill & Knowlton dalam riwayat hidupnya pada 1963, "The Making of Public Relations Man". Tetapi lama setelah Hill meninggal dunia, ada sedikit keraguan akan perannya dalam menciptakan garis depan PR bagi industri tembakau.
Meskipun John Hill sudah memenangkan pertarungan yang sangat duniawi itu,
nyatanya ia memang merupakan kekuatan yang menuntun pembentukan Komite Riset
Industri Tembakau yang kemudian menjadi Institut Tembakau. Dengan demikian Hill
harus bertanggung jawab atas "rencana yang disusun dan dijalankan dengan
brilian" yang dengan menggunakan biaya berjuta kesehatan warga Amerika
membantu kepentingan egois industri tembakau.
Arthur W.
Page. Di antara
para perintis yang membentuk praktek PR saat ini, Arthur W. Page ada di deretan
terdepan. Page membangun tiga karier bisnis yang berhasil, namun ia masih punya
waktu untuk menyumbang bakat bagi banyak upaya layanan publik. Ia menjadi
penulis dan redaksi World's Work Magazine dan terbitan berkala lainnya dari
Doubleday, Page and Company mulai 1905 hingga 1927. Lalu ia menerima tawaran
Walter Gifford untuk menjadi wakil presiden American Telephone and Telegraph
Co. menggantikan James D. Ellsworth. Sejak awal Page sudah menegaskan bahwa ia hanya
akan menerima jabatan itu dengan syarat tidak difungsikan sebagai orang
publisitas, mempunyai suara dalam penentuan kebijakan, dan kinerja perusahaan
menjadi penentu reputasi puliknya. Falsafah Page terangkum dalam pernyataannya:
Page pensiun dari AT&T pada 1947, setelah mengintegrasi konsep dan
praktek PR ke dalam Sistem Bell. Sejak saat itu hingga wafatnya pada 1960 dalam
usia 77 tahun, ia memberikan layanan konsultasi bagi banyak perusahaan besar
dan menyumbangkan banyak waktu untuk layanan pemerintah, pendidikan tinggi, dan
badan-badan lainnya. Tetapi jejaknya dalam PR merupakan karyanya ketika bekerja
di AT&T. Ajaran dan prinsipnya tidak hanya bertahan pada
perusahaan-perusahaan yang dahulu merupakan bagian dari AT&T (pecah pada
1984), melainkan diperbaharui dan dimasyarakatkan oleh Arthur W. Page Society.
Keanggotaan perhimpunan yang didirikan pada 1983 ini utamanya mencakup
eksekutif hubungan masyarakat senior, konsultan terkemuka, dan tokoh-tokoh
hubungan masyarakat lainnya. Menurut kepustakaan Page Society,
Page mempraktekkan enam prinsip PR:
Page mempraktekkan enam prinsip PR:
Katakan yang sebenarnya. Biarkan masyarakat tahu apa yang terjadi, dan
berikan gambaran yang akurat tentang karakter, idealisme, dan praktek
perusahaan.
Buktikan
dengan tindakan. Persepsi masyarakat tentang organisasi 90 % ditentukan oleh
perlakuan dan 10% oleh pembicaraan.
Dengarkan
pelanggan. Untuk memberi layanan yang baik bagi perusahaan, pahami apa yang
diinginkan dan dibutuhkan masyarakat. Berikan informasi terus-menerus kepada
pengambil keputusan puncak dan karyawan lainnya tentang PR bagi produk,
kebijakan, dan praktek perusahaan.
Kelola untuk besok. Lakukan antisipasi PR dan kesampingkan praktek yang
menciptakan kesulitan. Bangkitkan niat yang baik.
Terapkan PR
seolah seluruh perusahaan bergantung padanya. Hubungan korporat merupakan
fungsi manajemen. Tidak ada strategi korporat yang boleh diterapkan tanpa
mempertimbangkan dampaknya pada masyarakat. Profesional PR merupakan pengambil
kebijakan yang cakap, menangani banyak sekali aktivitas komunikasi korporat.
Tetaplah
tenang, sabar, dan berselera humor baik. Buatlah landasan kerja bagi keajaiban
PR dengan konsisten, tenang, dan perhatian beralasan pada informasi dan kontak.
Saat muncul krisis, ingatlah bahwa komunikasi terbaik dihasilkan oleh kepala dingin.
Alice L.
Beeman. Pada konvensi 1925, organisasi ini mengambil bentuk baru yang
mencerminkan pertumbuhan praktek ini dalam pendidikan tinggi. Lambang
pertumbuhannya pada tahun-tahun berikutnya adalah perubahan nama menjadi
Asosiasi Publisitas Lembaga Pendidikan Tinggi Amerika pada 1930, menjadi
Asosiasi Hubungan Masyarakat Lembaga Pendidikan Tinggi Amerika pada 1964, dan
menjadi Dewan untuk Kemajuan dan Dukungan bagi Pendidikan (CASE) pada 1974
setelah bergabung dengan Dewan Alumni Amerika. Penggabungan ini mencerminkan
adanya perubahan penekanan pada PR perguruan tinggi, dari publisitas menjadi
pengembangan dan pengumpulan dana. CASE diluncurkan di bawah kepemimpinan
presiden pertamanya, Alice L. Beeman. Sebelumnya ia merupakan direktur jenderal
Asosiasi Amerika bagi Wanita Universitas yang berbasis di Washington, D.C., dan
Yayasan Pendidikan AAUW. Posisi barunya sebagai Presiden CASE menjadikan Beeman
wanita pertama yang mengepalai badan PR nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Jefkins, Frank dan Daniel Yadin. 1996. Public
Relations. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
Ruslan Rosady. 1998. Manajemen PR & Media
Komunikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Soemirat, Soleh dan ElvinaroArdianto.2004.Dasar-Dasar
Public Relations.Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.