Pada tahun 1948,
umat manusia di bumi ini untuk pertama kali
memproklamasikan penghormatan dan keyakinan mereka tentang Hak-hak Asasi
Manusia (HAM). Seluruh bangsa bersepakat untuk mendeklarasikan kesamaan martabat, nilai, dan pengakuan bahwa setiap manusia di bumi ini memiliki hak-hak yang sama, tidak peduli jenis kelamin, lelaki atau perempuan, tanpa membedakan warna kulitnya, merah, coklat, putih atau hitam. Hak asasi yang berlaku bagi semua, apakah bangsa besar, kaya dan maju, atau dari bangsa kecil, terbelakang, miskin dan primitif. Saat itulah mereka bersepakat untuk membuat bumi menjadi lebih manusiawi, humanis, dan egaliter dengan penghormatan terhadap hak-hak kemanusiaan yang paling dasar.
memproklamasikan penghormatan dan keyakinan mereka tentang Hak-hak Asasi
Manusia (HAM). Seluruh bangsa bersepakat untuk mendeklarasikan kesamaan martabat, nilai, dan pengakuan bahwa setiap manusia di bumi ini memiliki hak-hak yang sama, tidak peduli jenis kelamin, lelaki atau perempuan, tanpa membedakan warna kulitnya, merah, coklat, putih atau hitam. Hak asasi yang berlaku bagi semua, apakah bangsa besar, kaya dan maju, atau dari bangsa kecil, terbelakang, miskin dan primitif. Saat itulah mereka bersepakat untuk membuat bumi menjadi lebih manusiawi, humanis, dan egaliter dengan penghormatan terhadap hak-hak kemanusiaan yang paling dasar.
Adagium bahwa Hak
Asasi Manusia (HAM) merupakan entitas yang universal mendapat perlawanan oleh
sebagian kalangan yang mengemukakan bahwa HAM merupakan entitas yang
partikular. Inilah agaknya yang menjadi preferensi utama dalam diskursus
mengenai HAM, baik dalam kalangan akademisi maupun oleh kalangan awam.
Kritisisme HAM
dalam wacana keilmuan menjadi suatu fenomena yang cukup unik. Pasalnya,
sementara berbagai pihak memperjuangkan penegakan HAM, sebagaian lainnya larut
dalam perdebatan mengenai universalitas dan partikularitas nilai-nilai HAM.
Agak klise memang, namun inilah sesungguhnya yang menjadi polemik utama dalam
pewacanaan HAM, terutama ketika menyentuh konteks sosiologis dan antropologis
masyarakat.
HAM dengan
nilai-nilainya dipersepsikan dalam konteks lokal dan global. Implikasinya,
dikotomi antara universalitas dan partikularitas nilai-nilai menjadi aksentuasi
yang tidak terelakkan. Berdasar keadaan ini, wacana tentang HAM di satu sisi
menjadi satu produk paradigma holistik yang melihat HAM sebagai entitas dengan
nilai-nilai universal, terlepas dari episteme-episteme sosiologis
masyarakat setempat. Sementara itu, sebagian menilai pewacanaan nilai HAM
secara sektoral, mengingat nilai-nilai HAM bersifat etik, artinya pada konteks
tertentu nilai-nilai HAM harus disesuaikan dengan konteks lokal tertentu dan
tidak berlaku pada konteks lokal lainnya.
Dalam konteks lain,
diskursus mengenai berkutat pada wilayah pelanggaran dan pengadilan HAM.
Pewacanaan HAM pada konteks ini lebih dilatarbelakangi pada asumsi bahwa selama
ini, persoalan pelanggaran dan pengadilan HAM masih menjadi salah satu problem
besar dalam upaya penegakan dan supremasi HAM.
Perbedaan
perspektif mengenai nilai-nilai HAM menyebabkan kegamangan dalam memahami
nilai-nilai HAM, tidak terkecuali kalangan akademisi. Selain itu, polemik dalam
pelanggaran dan pengadilan HAM semakin mempertegas bahwa HAM masih menjadi satu
problematika besar bagi seluruh bangsa di dunia, khususnya di Indonesia. Dalam
konteks inilah, penulis coba mengangkat tema ini dalam pembahasan makalah.
Diharapkan nantinya, akan diperoleh deskripsi yang lebih transparan dan
signifikan, sehingga dapat mencerahkan wawasan dan pemahaman penulis maupun
pembaca
Nilai-nilai
Universal dan Partikular HAM
Hak Asasi Manusia
(HAM) merupakan entitas yang terintegrasi dalam eksistensi manusia dan secara
kodrati merupakan karunia dari Allah SWT. Dalam konteks ini, HAM dianggap
sebagai fundamentasi dasar ke manusiaan, karena dengan-nya, manusia dapat
dengan leluasa melaksanakan tugas-tugas kemanusiaannya dan mendapatkan jaminan
(guarantee) bahwa dirinya terproteksi dari ancaman eksternal yang dapat
membahayakan dirinya. Pemahaman yang komprehensif mengenai konsep dasar dan
nilai-nilai HAM menjadi penunjang bagi kesuksesan sosialisasi dan implementasi
HAM dalam konstruk dinamika kemasyarakatan.
Konsep dasar HAM
Sebelum lebih jauh
membahas mengenai HAM, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai definisi HAM.
Hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku,
melindungi kebebasan, kekebalan, serta menjamin adanya peluang bagi manusia
dalam menjaga harkat dan martabatnya. Nickel mengemukakan bahwa pada dasarnya,
hak memiliki tiga unsur, yaitu pemilik hak, ruang lingkup penerapan hak, dan
pihak yang bersedia dalam penerapan hak. Ketiga unsur tersebut menyatu dalam
pengertian dasar hak. Dengan demikian, maka dapat dikemukakan bahwa hak
merupakan unsur normatif yang melekat pada diri manusia yang dalam penerapannya
berada pada ruang lingkup persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan
interaksi dalam konteks individu dengan individu lain dan/atau dengan institusi
sosial maupun pemerintahan.
Hak asasi manusia
adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia secara kodrati
sebagai anugerah dari tuhan, mencangkup hak hidup, hak kemerdekaan/kebebasan
dan hak memiliki sesuatu.HAM adalah klaim yang dapat dipaksakan sebagai
konsekuensi penanda kemanusiaan yang bersifat kodrat. Dalam definisinya yang
kodrat, HAM melekat pada manusia sebagai subjek pengemban hak semenjak manusia
dapat dikategorikan sebagai manusia di dalam kandungan. Hak tersebut juga tidak dapat dicabut, dialihkan, dan
dibagi-bagi.
Jan Materson
sebagai dikutip Baharuddin Lopa, mengemukakan bahwa hak asasi manusia adalah
hak-hak yang melekat pada setiap manusia yang tanpa hak tersebut, manusia
mustahil dapat hidup sebagai manusia. John Locke mengemukakan bahwa hak asasi
manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak yang
kodrati. Sementara itu, pengertian lebih lengkap terdapat dalam Pasal 1 Ayat 1
UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yaitu:
“Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap
orang demi kehormatan serta perindungan harkat dan martabat manusia”.
Nilai-nilai HAM
Diskursus
nilai-nilai HAM pada dasarnya merupakan dinamika yang lahir dari perbedaan
perspektif mengenai HAM itu sendiri. Sebagai diketahui, secara faktual, entitas
HAM tidak terlepas dari nilai-nilai kultural, sosiologis, konstruk politik, dan
nilai-nilai etik lainnya. Bukan menjustifikasi bahwa nilai-nilai HAM bersifat
partikular, akan tetapi menegaskan bahwa pembicaraan mengenai nilai-nilai HAM
harus dikontekstualkan dengan tidak memberangus data-data historis. Diakui atau
tidak, nilai-nilai HAM secara substantif melingkupi wilayah universal dan
partikular. Karena itu, adalah wajar bila diskursus pada wilayah nilai HAM
terjadi secara sektoral; mencakup wacana universalitas dan partikularitas
nilai-nilai HAM.
Nilai universal HAM
Dalam konteks ini,
nilai HAM dianggap sebagai nilai yang universal; suatu konstruk nilai yang
menembus batas peradaban, sekat budaya, dan paradigma spesifik. Nilai-nilai
HAM-tanpa terkecuali-oleh penganut teori radikal universalitas bersifat
universal dan tidak dapat dimodifikasi sebagai upaya konkordansi dengan budaya
lokal suatu negara atau masyarakat.
Teori radikal
universalitas bersandar pada satu argumentasi bahwa hanya ada satu paket pemahaman
mengenai HAM; bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama (tidak terikat pada paradigma
spasial dan temporal) dan dapat diimplementasikan pada masyarakat dengan latar
belakang budaya dan historisitas yang berbeda. Implikasinya, pemahaman dan
pengakuan terhadap nilai-nilai HAM berlaku sama dan secara simultan bersifat
universal bagi semua bangsa dan negara di dunia.
Kalangan yang
mendukung universalitas DUHAM menyatakan bahwa Mesir dan Libanon berkontribusi
besar dalam penyusunan DUHAM, sehingga DUHAM bukanlah dominasi barat, bahkan
rumusan tentang kebebasan beragama merupakan bukti bahwa DUHAM juga mengadopsi
nilai-nilai yang berakar dari luar barat. Kalangan ini juga berpendapat bahwa
budaya itu bersifat dinamis sehingga klaim karakteristik budaya suatu komunitas,
etnis atau negara bersifat tetap dan utuh terbantahkan, karena anggapan bahwa
suatu masyarakat memiliki satu nilai hanyalah merupakan klaim yang kurang
berdasar. Selain itu, perbedaan pendekatan yang mendikotomikan Hak Sipol dan
Hak Ekosob dalam praktiknya tidaklah sediametral itu, karena, misalnya, bila di
negara sosialis hak atas pendidikan itu dimasukkan ke dalam ranah Hak Ekosob,
dalam masyarakat liberal, hak atas pendidikan itu dimasukkan ke dalam Hak
Sipol. Dengan demikian, baik di barat maupun di timur, hak atas pendidikan itu
sama-sama diakui meskipun dikonstruksi dalam pendekatan yang berbeda.
Pemahaman HAM
sebagai suatu “konsensus lintas budaya”, mengutip pendapat Bielefeldt, adalah
syarat mutlak adanya pengertian yang universal. Artinya, penyampingan
esensialisme kultural dalam memahami HAM universal hendaklah dipahami sebagai
“bukan penyingkiran”. Budaya, sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia
mutlak ada, hidup dan dilestarikan dalam nilai HAM yang universal, mengingat
bahwa justru dengan pelenyapan unsur sosio-kultural tertentu, konsep HAM yang
agung dan luhur akan terjebak dalam situasi dilematis. Merujuk argumentasi
tersebut, penulis bependapat bahwa universalitas hanyalah quasi nilai HAM,
karena bagaimanapun, menurut konstruk “konsensus lintas budaya”, nilai HAM
tidak dapat dilepaskan sama sekali dari budaya lokal.
Dalam konsep lintas
budaya, kesetaraan dan kerjasama adalah poin substansial yang harus menjadi mainstream
dalam terbukanya ruang konseptual bagi pluralitas pandangan, ideologi, agama,
keyakinan, doktrin dan hal-hal yang berlainan. Secara normatif, ketika HAM
dipandang sebagai suatu aturan semesta seluruh umat manusia, maka egosentrisme
kesukuan mutlak menepi terlebih dahulu, dengan asumsi HAM tersebut tidak
berlaku sebagai penjajah feodal yang kaku. Ini mengandung permintaan yang dalam bagi kedua belah
pihak, pelaku dan budaya sasaran. Para aktivis HAM dituntut untuk lebih toleran
terhadap pluralisme budaya sasaran, sedang sebaliknya, pemilik budaya hendaknya
tidak membutakan mata terhadap intisari HAM sebenarnya.
Dibalik
universalisme hak asasi manusia dan kekhususan budaya, suatu wacana lain yang
tak kalah penting adalah pengembalian arti dan keberpihakan HAM terhadap kaum
miskin dan tertindas. Pola pemikiran seperti ini sederhana saja yaitu ketika
HAM dekat dan bersinggungan dengan masalah-masalah praktis dan konkrit, serta
mampu melindungi kaum miskin dan terpinggirkan, dia akan semakin tumbuh dan
berarti dalam universalitasnya.
Lebih lanjut, dalam
wacana universalitas nilai HAM, ada teori weak relativist. Teori ini
pada dasarnya beranggapan bahwa nilai-nilai HAM bersifat universal dan susah
untuk dimodifikasi berdasarkan pertimbangan budaya tertentu. Berdasar pandangan
tersebut, maka tampat tidak adanya pengakuan (justifikasi) terhadap nilai-nilai
HAM lokal, melainkan hanya mengakui adanya nilai-nilai HAM yang bersifat
universal Kemudian, dikenal Hukum Alam sebagai landasan teori hukum. Hukum Alam
beranggapan bahwa HAM-sebagai karunia dari Tuhan-secara kodrati tidak lekang
oleh perkembangan dan perubahan zaman. HAM dianggap sebagai konstruk yang
universal dan tidak terikat pada perbedaan subjek dan konteks serta nilai-nilai
kearifan lokal.
Nilai partikular
HAM
Bila berbicara
mengenai Hak Asasi Manusia dalam dunia modern saat ini, maka kita dihadapkan
pada perdebatan antara universalisme HAM dan relativisme budaya. Universalisme
HAM dianggap terwujud dalam Universal Declration of Human Rights yang
mewakili tradisi dunia Barat yang menjunjung tinggi konsep kebebasan dan
individualisme. Sedangkan di dunia Timur konsep mengenai tanggung jawab dan
komunitas lebih dominan. Hal inilah yang melahirkan teori relativisme budaya
yang salah satu bentuk perwujudannya terkandung dalam Cairo Declaration on
Human Rights in Islam. Dalam Deklarasi Kairo yang diberlakukan untuk
Negara-Negara Anggota Organisasi Konferensi Islam ini dinyatakan bahwa setiap
manusia memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari eksploitasi dan
pemaksaan, dan untuk mendapatkan kebebasan dan hak untuk hidup yang selaras
dengan Syari'ah Islam. Bahwa setiap orang secara individual dan ummah secara
bersama-sama bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak ini.
Pada dasarnya,
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB sejalan dengan pandangan Islam. Namun
perbedaan antara konsep universalitas HAM dengan relativisme budaya melahirkan
sudut pandang yang berbeda ketika berhadapan dengan isu-isu krusial yang muncul
dalam tataran praktis. Dalam Islam, bila seseorang dalam menjalankan hak
asasinya menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, maka dia dapat
dihukum. Sedangkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, jika ada
hukum atau hukuman yang berbenturan dengan hak asasi seseorang, maka hukum atau
hukuman tersebut harus dihapus, tanpa memandang latar belakang historis, sosial
ekonomi, dan kultur setempat. Padahal setiap negara memiliki keanekaragaman
masing-masing yang dilatarbelakangi oleh kondisi sosial ekonomi, budaya, dan
tingkat perkembangannya. Misalnya keanekaragaman dalam falsafah atau dalam
sistem hukum pidananya yang dapat bersifat memberikan pembalasan atau
perlindungan.
Dalam
perkembangannya, wacana nilai-nilai HAM terjadi secara sektoral-universalitas
dan partikularitas. Pandangan yang menolak universalitas HAM mengajukan
beberapa alasan. Pertama, bahwa DUHAM yang mengklaim diri sebagai
universal itu hanya dibuat oleh beberapa negara yang dimotori oleh
negara-negara yang menang perang dan menggambarkan nilai-nilai individualisme
liberal masyarakat barat. Kedua, DUHAM tidak melihat kekhasan
budaya yang terdiferensiasi berdasarkan budaya dan ruang geografis. Ketiga,
terdapat perbedaan pendekatan dalam melihat hak asasi manusia.
Dalam pewacanaan
nilai partikular HAM, teori relativitas kultural merupakan salah satu teori
yang cukup signifikan. Asumsi utama teori ini adalah bahwa nilai-nilai moral
dan budaya bersifat partikular (khusus). Hal ini berarti bahwa nilai-nilai
moral HAM bersifat lokal dan spesifik, sehingga berlaku khusus pada suatu
negara. Dalam konteks penerapan HAM, ada tiga model penerapan HAM, yaitu:
1. Penerapan HAM
yang lebih menekankan pada hak sipil, hak politik, dan hak pemilikan pribadi;
2. Penerapan HAM
yang lebih menekankan pada hak ekonomi dan hak sosial; dan
3. Penerapan HAM
yang lebih menekankan pada hak penentuan nasib sendiri (self determination)
dan pembangunan ekonomi.
Pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM
adalah setiap perbuatan atau tindakan individu atau sekelompok orang, termasuk
aparat negara, baik disengaja mapun tidak disengaja, atau karena kelalaian yang
secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut HAM individu
atau sekelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang dan tidak didapatkan atau
dikahawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Dengan demikian, pelanggaran HAM
merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun
oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain
tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi
pijakannya.
Pelanggaran HAM
dikelompokkan dalam dua bentuk, yaitu pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM
ringan.
Pelanggaran HAM
berat
Pelanggaran HAM
berat terbagi atas dua, yaitu:
Kejahatan genosida
Kejahatan genosida
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, dan
kelompok agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota
kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap
anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok dan
memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan
kemanusiaan
Kejahatan
kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa,
perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional,
penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap satu kelompok
tertentu atau perkumpulan yang didasarkan pada persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah
diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional,
penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid.
Dalam konteks
Indonesia, ada beberapa kejadian yang terindikasi sebagai kasus pelanggaran HAM
berat. Tragedi Trisakti tanggal 12 Mei 1998 menjadi pemicu kerusuhan sosial
yang mencapai klimaksnya pada 14 Mei 1998. Tragedi dipicu oleh menyalaknya
senapan aparat yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti. Tragedi Trisakti kemudian disusul oleh tragedi semanggi I
pada 13 November 1998. Dalam tragedi itu, unjuk rasa mahasiswa yang dituding
akan menggagalkan SI MPR harus berhadapan dengan kelompok Pam Swakarsa yang
mendapat sokongan dari petinggi militer.
Pam Swakarsa terdiri
dari tiga kelompok, dari latar belakang yang berbeda. Pembentukan Pam Swakarsa
belekangan mendapat respon negatif dari masyarakat. Mereka kemudian mendukung
aksi mahasiswa, yang sempat bentrok dengan Pam Swakarsa. Dalam tragedi Semanggi
I yang menewaskan lima mahasiswa, salah satunya Wawan seorang anggota Tim
Relawan untuk Kemanusiaan ini, tampak tentara begitu agresif memburu dan
menembaki mahasiswa. Militer dan polisi begitu agresif menyerang mahasiswa,
seperti ditayangkan oleh sebuah video dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR
Selasa 6 Maret 2001. Rekaman itu memperlihatkan bagaimana polisi dan tentara
yang berada di garis depan berhadapan dengan aksi massa mahasiswa yang tenang.
Pasukan AD yang didukung alat berat militer ini melakukan penembakan bebas ke
arah mahasiswa. Para tentara terus mengambil posisi perang, merangsek, tiarap
di sela-sela pohon sambil terus menembaki mahasiswa yang berada di dalam
kampus. Sementara masyarakat melaporkan saat itu dari atap gedung BRI satu dan
dua terlihat bola api kecil-kecil meluncur yang diyakini sejumlah saksi sebagai
sniper. Serbuan tembakan hampir berlangsung selama dua jam.
Kini, akibat
peritiwa itu, sejumlah petinggi TNI Polri sedang diburu hukum. Mereka adalah
Jenderal Wiranto (Pangab), Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin (mantan Pangdam Jaya),
Irjen (Pol) Hamami Nata (mantan kapolda Metro Jaya), Letjen Djaja Suparman
(mantan Pangdan jaya) dan Noegroho Djajoesman (mantan Kapolda Metro Jaya).
Pelanggaran HAM
ringan
Pelanggaran HAM
ringan merupakan pelanggaran HAM selain genosida dan kejahatan kemanusiaan.
Dalam konteks ini, pembunuhan, pemerkosaan secara individual maupun
berkelompok, penipuan, perampokan, penyiksaan fisik dan/atau psikologis
seseorang, intimidasi, pengekangan terhadap kebebasan seseorang, dan bentuk
pelanggaran lainnya.
Pengadilan HAM
Ketentuan tentang
adanya Pengadilan HAM terdapat dalam UU No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
HAM. Dalam Undang-Undang tersebut, diatur ketentuan mengenai Pengadilan HAM ad
hoc untuk memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM yang berat yang
terjadi sebelum UU No.26 Tahun 2000 tersebut lahir. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk
atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasar peristiwa tertentu dengan Keputusan
Presiden dan berada dalam lingkungan Peradilan Umum.
Dalam konteks
pelanggaran HAM berat, berlaku asas retroaktif, yaitu suatu asas hukum yang
menegaskan bahwa tindak pidana tertentu yang telah dilakukan sebelum
Undang-Undang yang mengaturnya belum ditetapkan dapat diperiksa dan diadili.
Asas ini pun diperkuat dengan ketetapan Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan
bahwa untuk pelanggaran HAM berat, berlaku asas retroaktif. Dasarnya adalah
untuk memenuhi rasa keadilan, mengingat implikasi pelanggaran HAM tersebut
sangat besar dan menyangkut kepentingan orang banyak. Masih teringat kasus
Tanjung Priok yang terjadi beberapa dekade yang lalu, perkaranya kini masih
ditangani oleh Pengadilan HAM. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pelanggaran HAM
berat diberlakukan asas retroaktif.
Pengadilan HAM
berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi
daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pengadilan HAM bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan
HAM juga berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berada
dan dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh
warga negara Indonesia. Dalam pelaksanaan Peradilan HAM, Pengadilan HAM
menempuh proses pengadilan melalui hukum acara Pengadilan HAM sebagaimana terdapat
dalam Undang-Undang Pengadilan HAM.